Rabu, 17 Desember 2008



RUANG

Dalam mata kuliah Metode Perancangan Arsitektur 01, ruang adalah rongga yang dapat digunakan sebagai tempat beraktivitas. Ruang juga adalah tempat untuk menikmati arsitektur. Jika ruang tersebut terkesan ati dalam artian tidak ada aktivias yang bias dilakukan di sana, maka ruang itu bias disebut sebagai ruang mati. Pembahasan tentang ruang mati sudah pernah saya bahas sebelumnya.

Dalam mata kuliah Teori Arsitektur 01, ruang bukan lagi sebuah kekosongan belaka atau tempat berlangsungnya kegiatan. Lebih dari itu bahwa ruang adalah arsitektur itu sendiri yang mempunyai karakter.

Setiap ruang tentu akan mempunyai karakter sediri-sendiri. Misal dari pengalaman ketika di Lawang Sewu. Bagi saya, karakter ruang-ruang lawang sewu adalah seram atau angker. Hal itu bisa saya rasakan dari segi pencahayaannya. Sebagian besar ruangan di sana tidak mendapatkan pencahayaan yang baik. Baik dari lampu maupun dari cahaya matahari. Juga dari segi warna bangunan. Warna bangunan lawang sewu sangat tidak cerah. Terkesan seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Catnya sudah memudar dan tertutup lumut atau jamur. Selain itu, indera penciuman kita juga terganggu dengan bau yang tidak sedap karena kotoran burung yang bersarang di dalam bangunan itu. Hal ini membawa efek yang besar sehingga orang cenderung menjauhi ruangan tersebut.

Dalam buku “RUANG DALAM ARSITEKTUR” karya Cornelius Van de Ven, Schmarson mengtakan bahwa secara eksistensial, ruang menggabungkan tiga macam ruang yakni tactile (rabaan), mobile (gerakan), dan visual (pandangan) dan dengan demikian menyatukan indera manusia yang berhadapan dengan pengalaman-pengalaman serentak maupun berurutan dalam ruang dan waktu.


Dari situ saya berpikir bahwa pengalaman atau kesan saya di Lawang Sewu saat itu adalah tidak bisa terlepas dari inderawi saya bahkan sampai pada level perasaan. Maka munculah perasaan yang campur aduk pada saat itu. Rasa asing, pensaran dan cemas karena banyak sekali pintu yang membingungkan. Keinginan untuk menemukan terang sangat besar. Sehingga secara tidak sadar kami semua cenderung mendekati cahaya atau cendela.

Rabu, 26 November 2008

ruang mati








ruang mati

ini adalah ruang di gedung teologia UKDW. saat saya berada di ruangan ini, saya merasa asing dan tidak tahu mau apa karena tidak ada yang bisa dilakukan di sana. tinggi ruangan itu 161cm. lebih tinggi 1cm dari tinggi badan saya. saat saya berdiri di sana saya merasa ditekan oleh bangunan tersebut. apalagi lantai dari ruang mati tersebut adalah dari batu kali yang sebesar genggaman tangan orang dewasa.










































ruang ini tidak dapat menarik perhatian orang untuk dikunjungi. ketika saya berada disana, saya merasa seperti orang aneh. mereka melihat saya dengan penuh keheranan. dan dari situlah saya semakin yakin bahwa ruang tersebut memang jarang dikunjungi orang karena tidak ada yang bisa dilakukan di sana. lantai yang terbuat dari batu kali membuat kita tidak nyaman berdiri di sana sehingga membuat kita semakin tidak betah.

Rabu, 12 November 2008

perjalanan ke semarang







Gereja Blenduk





A.    Peran Tampak dalam Ruang Kota

Gereja Blenduk terdapat di Kota Semarang. Tepatnya di Kota Lama. Letak Gereja Blenduk tidak jauh dari Stasiun Tawang.

Gereja blenduk mempunyai site plan yang menarik. Gereja blenduk terletak ditengah-tengah jalan yang bercabang-bercabang. Maka dari itu, kita dapat menyimpulkan bahwa gereja blenduk mempunyai sifat ruang yang memusat. Selain karena bentuknya yang unik, system tata kota juga mendukung bangunan tersebut untuk menjadi pusat perhatian indera mata.

Tampak bangunan yang jelas dan sesuai peranannya tidak akan membuat orang bingung untuk mengenali peranan tampak bangunan tersebut. Apakah itu tampak depan, tampak belakang, tampak samping kiri atau kanan. Seperti halnya pada tampak bagian depan dari bangunan tersebut dimana pada bagian atasnya terdapat tulisan G.P.I.B. IMMANUEL. Jika diamati dari arah jalan yang tepat di bagian depan bangunan tersebut, tulisan dan tampak bangunan tersebut akan mempunyai efek yang besar untuk menarik para pengunjung. Itulah sebabnya gereja blenduk mempunyai sifat yang memusat. Jadi, apabila tampak depan mudah dikenali, maka tampak kanan, kiri dan belakang dari bangunan tersebutpun akan mudah dikenali.



 

B.      Peran  Jalan dalam Arsitektur

Jalan mempunyai peran penting dalam dunia arsitektur. Jalan adalah jalur sirkulasi masyarakat untuk melakukan aktivitas sehari-hari dari satu tempat ke tempat lain. Jalan raya dsekitar gereja Blenduk sangat berkesan bagi saya. Jalan yang biasa saya lihat sebelumnya terkesan tidak menyatu dan tidak menjadi satu bagian dari bangunan disekitarnya karena adanya pemisah yang tegas sekali. Misal dengan pagar. Tapi yang saya lihat dan saya rasakan ketika berada di sekitar gereja itu, jalan itu sangat menyatu dengan bangunan disekitarnya karena tidak ada pemisah yang tegas atau batas yang jelas dari jalan tersebut dengan bangunan. Sehingga dari situ saya merasakan bahwa antara bangunan dan jalan adalah sebuah bangunan dalam lingkup besar.

 









C.      Ruang dalam arsitektur

Pengalaman tentang ruang yang paling berkesan adalah saat saya berada didalam Gereja Blenduk. Dari segi estetika, interior gereja tersebut memang sangat menarik. Pada bagian tengahnya terdapat cekungan yang tingggi sebagai lambang keagungan Tuhan. Namun interior yang indah tersebut tidak dapat menciptakan rasa yang nyaman ketika berada di sana. Saya merasakan bahwa gereja itu panas sekali. Saya bertanya bagaimana rasanya jika ada ibadat di siang hari. Saya langsung lega ketika pak Mahatmanta mengatakan bahwa bangunan tersebut termasuk bangunan yang gagal dan tiadak sesuai didaerah tropis.

Saya juga sangat tertarik dengan apa yang disampaikan pak Mahatmanta ketika kuliah stu minggu kemarin. Ternyata gereja tersebut memiliki keunikan lagi yakni tentang Ruang Transisi. Yakni ruang yang tidak didalam bangunan tapi juga tidak diluar bangunan. Ruan Transisi dari gereja tersebut adalah tepat berada dibagian bangunan yang paling depan. Atau tepatnya di depan pintu depan.